TEH MAROKO RAMUAN TANGANMU
Aku paling tidak
suka menerima kebaikan hati seseorang. Ketika aku sedang duduk melamun
sendirian di cafeteria pusat budaya Islam Madrid, lelaki itu datang
menghampiriku. Dengan hangat menyapa. What are you doing here? not drink or eat!
Perut keroncongan, itu
alasan klasik sebenarnya. Tiba-tiba aku
menjadi tak berselera, ketika menatap menu yang ditawarkannya. Apa
sebab? Tak ada satupun masakan Spanyol yang benar benar cocok dengan lidahku. Tetapi begitulah kenyataannya, miskin rasa.
Mungkin pria punya
selera kampungan tak pantas keliling dunia. Akhirnya aku memutuskan tuk memesan roti,
telur rebus dan teh hangat.
Roti yang kutelan tak
ada rasa sama sekali. Kutatap rintih dua butir telur rebus. Tidak! Aku tak
begitu suka telur rebus. Apalagi yang setengah matang.Tetapi aku harus makan
dan sehat selama di negri orang. Dengan susah payah ku melahap telur.
Apa istimewanya teh gaya Maroko? tanyaku
heran. Bangsa Maroko terbiasa meminum teh dengan
ditambahkan daun mint, terang penjaga cafetaria.
Dia adalah Muhammad,
keturunan Maroko dan telah menjadi warga negara Spanyol sejak beberapa dekade
lalu. Dia mejelaskan bahwa konsumsi teh bergaya khas Maroko
sebaiknya diminum tanpa ditambah susu atau madu, karena akan merusak rasa. Daun teh
bisa dimasukkan pada saat memasak teh, atau bisa juga dimasukkan langsung ke
dalam cangkir teh. Tetapi jangan terlalu lama merendam daun mintnya, karena menyebabkan rasa asam. Tak hanya disajikan saat jam makan siang, melainkan
setiap waktu. Minum teh sudah menjadi tradisi sejak zaman dahulu kala.
Aku merasa hidup kembali. Ketika meneguk
teh mint bergaya maroko, penuh persahabtan dan tradisi. Tentu, penyajiannya
dalam gelas tinggi. Dengan keseimbangan sempurna teh hijau dan daun mint
kering, sungguh nikmat. Mungkin yang sangat mengelitik; tehnya disajikan dengan
cara berbeda dan disini kami mengimpor teh terbaik dari Indonesia, ungkap Muhammad dengan senyum lebar.
Sambil menyerumput teh mint bergaya maroko, dan kita
mengobrol apa saja hingga gelas ke tiga. Sluuuurpp!
Tak sepeserpun uang
dikeluarkan kala itu, alias gratis. Sepanjang perjalanan pulang ke hostel, aku
lebih banyak diam. Metro masih ramai dengan kicauan dan kelakar manusia yang
tak kukenal sama sekali. Aku menghela napas. Apa yang harus kulakukan tuk
membalas kebaikan Muhamad? Barangkali
aku saja yang terlampau berlebihan.
Barangkali…
Sepertinya saya sama dengan Mas Kharis, akan nelangsa karena miskin rasa dengan kuliner Eropa. Tapi, bukankah itu berarti betapa kuliner nusantara sangat kaya rasa? Mungkin itu sebabnya lidah kita tidak biasa hehe.
ReplyDelete